Selasa, 02 Juni 2015

sejarah jurnalistik pada masapenjajahan di indonesia



Sejarah jurnalistik pada masapenjajahan di indonesia
Di Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh kebelakang sejak jaman penjajahan Belanda. Menurut guru saya, di indonesia jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar bernama bataviasche nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang belanda. Pada 1776, juga di jakarta, terbit surat kabar vendu niews yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang belanda untuk para penbaca belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja. Jurnalistik koran-koran belanda ini , jelas membawakan  suara pemerintahan kolonial belanda.sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah bianglala diterbitkan, disusul oleh bromartani pada 1885, keduanya diweltevreden, dan pada 1856 terbit soerat kabar bahasa melajoe disurabaya (EFFENDY,2003 : 104).
Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut guru besar ilmu komunikasi universitas padjadjaran (unpad) bandung itu, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa indonesia. Namanya medan prijaji, terbit di Bandung. Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa indonesia untuk bangsa indonesia. Medan prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, 1907, berbentuk mingguan. Baru tiga tahun kemudian, 1910, berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia , baik dengan cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan (Effendy, 2003: 104-105).
B.     Mengenal perjalanan jurnalis pers indonesia  dalam beberapa priode atau zaman
Pada tahun -tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, pers kita menikmati masa bulan madu. Di jakarta dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka  hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan merah puti setinggi-tingginya.
Lima tahun kemudian,atau mulai tahun1950, pers indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar inilah yang disebut era pers partisan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berprilaku seperti partai politik tang di kuasai dan di dukungnya. Kebebasan pers disini diartikan sebagai bebas untuk memilihn salah satu partai  politik sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarakat luas. Dalam era ini, pers indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara pilosofis, pers tidak lagi mengapdi kebenaran untuk masyarakat, melainkan kepada kemenagan untuk para pejabat partai.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dekkrit persiden 1 juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tangal kematian kebebasan pers indonesia (EFFENDY, 2003 : 108). Pada tanggal inilah , penguasa Darurat Perang Daerah (paperda) jakarta raya, menetapkan batas akhir pendaptaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh surat izin terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurag dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh 9 partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 september 1965 dengan nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpas oleh rakyakt bersama TNI dan mahasiswa (EFFENDY, 2003 : 109-110).
C.     Kebebasan jurnalistik pasca 1965
Menurut jakob oetama, sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua,kebebasan pers yang terjadi lebih leluasa dibandingkan periode sebelumnya. Ketiga barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, sertah pengelolaan keuangan (oetama, 1987:26).
Dalm perkembangan lebih lanjut, tulis maestro pers indonesia itu, terjadilah perubahan. Tidak saja dalam iklim sosial politik, tetapi juga dalam iklim sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang berlainan dari periode sebelumnya dan mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan pers. Dalam bidang sosial politik perkembangan iklim kebebasan yang lebih besar, bahkan ketika kemudian terjadi pasang surut, fluktuasi kebebasan pers setelah 1966 masih tetap lebih besar daripada sebelumnya.
Pada mulanya berkembang situasi konflik yang membawa ketegangan dimana-mana dan dalam berbagai sistem masyarakat, sehingga masyarakat terangsang untuk mencari informasi lewat pers. Kemudian terjadi proses lahir dan didebatkannya gagasan-gagasan politik, ekonomi, dan kebudayaan baru; proses yang menyuburkan pertumbuhan pers yang sanggup menangkapnya.
Menurut jakob oetama, timbulnya surat-surat kabar semakin cenderung untuk mengambil distansi dari organisasi politik dan menumbuhkan kebijakan editorial yang relatif independen. Dalam jurnalisme, implikasi dan visi itu ialah sikap pokok cover both sides dalam pemberitaan dan pemaparan masalah. Arus itu rupanya sesuai dengan arus masya rakat yang berniat membaca surat kabar. Khalayak ingin memperoleh informasi dan interprestasi tentang peristiwa sertah arah kejadian yang lengkap, tidak apriori,memihak, dan memberikan hormat terhadap khalayak sendiri.
Sisiem sosial ekonomi baru mempengaruhi pertumbuhan pers indonesia. Sistem ekonomi berencana yang berlaku setelah 1968, memberikan tempat yang besar dan kuat kepada sistem pasar internasional. Bagian substansial dari sistem ekonomi pasar ialah persaingan produk, promosi, periklanan.
Akibat pengembangan ekonomi pasar bebas yang dijalankan oleh pemerintah, sejumlah kecil surat kabar baik di ibukota maupun di beberapa kota besar di daerah, berhasil meraih sejumlah besar iklan yang saling mempertarungkan mutu produk sertah jasa. Surat kabar harian dari kelompok ini berhasil mengembangkan sampai dua belas halaman setiap hari kadang-kadang sampai 16-20 halaman, dengan luas iklan yang dari segi komersial sudah mencapai titik ideal, sekitar 50-65 persen dari seluruh luas halaman. Beberapa majalah mingguan, dwimigguan dan bulanan, juga berhasil tampil dengan enam puluh lebih dari seratus halaman sekali terbit, atau hampir dua ratus halaman untuk berkala ukuran saku, dengan luas iklan yang mendekati ideal sekitar 30-35 persen dari selueruh halaman (atmakusuma, 1981: 80).
Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985,kebebasan jurnalistik di indonesia, memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh ekonomi daripada dengan demensi, unsur, nilai, dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah berbicara politik. Tetapi sebagai wahana exspresi, penyalur pendapat umum, sekaligus sebagai pengembang fungsi kontrol sosial, pers indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah.
Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers itu sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua. Namun, dimanapun bulan madu hanyalah sesaat. Seperti dicatat atmakusuma akibat peristiwa 15 januari (malari) 1974, mingguan mahasiswa indonesia  di bandung ikut diberedel oleh pemerintah bersama-sama sebelas penerbitan pers umum. Sedangkan pada awal 1978, ketika tujuh surat kabar harian ibukota hampir serentak ditutup setengah bulan, pada waktu yang hampir bersamaan juga sedikitnya tujuh penerbitan mahasiswa diberbagai kampus dijawa dan sumatra mengalami nasib yang sama (atmakusuma, 1981:53-54).
Kebebasan jurnalis, kebebasan pers,dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monalifik orde baru, hanya lebih bamnyak memunculkan kisa sedih dari pada kisa suksesyang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan tegan dalam pasal 28 UUD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan orde baru,kisa sedih itu  masi terus berlanjut. Pembatasan dan bahkan pemberedelan terhadap pers terus berlangsung. Inilah yang di sebut sebagai era pers di arah periode baru.hanya dengan tiarap, dengan mengendap layanknya dalam perang gerilya, pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah yang di pilih oleh sebagian pers nasional hingga akhirnya dapat meloloskan diri dari jebakan-jebakan kematian. Orde barupun akhirnya tumbang pada 21 mei 1998. Lahirlah kemudian apa yang di sebut orde reformasi.
D.    Jurnalistik Dalam Orde Reformasi
Kelahiran orde reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 mei 1998 setelah soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya BJ.Habibie, disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh rakyat indonesia. Terjadilah euforia dimana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen penarangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan sertah mertah di bubarkan.
Secara yuridis UUD pokok pers NO.21/1982 pun diganti dengan UU pokok pers NO.40/1999. Dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti di tegaskan pasal 9 ayat (1) undang-undang pokok pers NO.40/1999; setiap warga negara indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat berikutnya (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum indonesia.
Kewewenangan yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU pokok pers NO.40/1999, pers nasional melaksanakan peranan : (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia sertah menghormati kebhinekaan, (c) mengembangkan pendapat umum berdasrkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (d) melakkukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Atas dasar itulah, pers nasional yang sekarang tetap terbit dan terus bertahan diseluruh pelosok di indonesia, berusaha lahir untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu. Sekali lahir, pantang bagi mereka untuk mati. Tidak demian halnya bagi sebagian pers yang lahir dalam repormasi. Mereka begitu mudah untuk lahir, tapi jauh lebih mudah lagi untu mati. Seolah-olah, sebagian besar dari mereka ditakdirkan lahir untuk mati. Bila di analisis mereka ternyata belelum memuliki tiang peyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian bangunan pers: idealisme, komersiaisme, propesianalisme

0 komentar:

Posting Komentar